Mawar.
Sebut saja namanya mawar.
Wanita berparas mungil yang mangajarkan ku untuk melihat
dunia dari sudut pandang yang berbeda.
Selayaknya muda mudi yang hidup di ibu kota kami berdua
saling menjalin asmara.
Singkat cerita, kamis tepat pukul 7 malam kereta api yang
kami naiki pun berangkat.
Kami menuju sebuah kota yang di dalamnya mempunyai banyak
cerita.
Jogjakarta, kota istimewa ya kami menuju kesana.
Sepanjang perjalanan mawar tersenyum melihat indahnya
pemandangan dari kereta yang kita naiki.
Oh tuhan terimakasih telah mengahadiahiku teman
perjalanan seperti ini.
Hey mawar kita sampai di jogja.
Mawar pun berlari selayaknya seorang anak kecil yang amat senang mendapatkan apa yang ia inginkan.
Ku tengok kanan dan kiri untuk mencari tempat yang akan
kita singgahi selama di jogja.
Seorang tukang becak menawarkan untuk mengantarkan ke penginapan
yang berada di dalam sarkem.
Wow, mawar kembali tersenyum sambil berkata “bukannya ini
tempat para pencari kepuasan duniawi ya?”
Aku pun ikut tersenyum sambil berkata, “yasudahlah aku
biasa tertidur dimana pun aku bisa”
Secara perlahan langkah kaki ku mulai menyusuri jalan
setapak ini menuju tempat dimana kita akan terlelap diantara bulan dan bintang
di tanah jawa.
Mawar kini kita di jogja.
Coba mulai kamu lihat jalan malioboro yang kian sesak
dengan pedagang kaki lima.
Coba juga kamu lihat seniman tua itu, dia mencari sesuap
nasi dengan ke idealisan yang dia punya.
Walaupun kamu tau mawar, mencari sesuap nasi mengatas
namakan idealisme itu memang berat.
Kini kita tinggal di jaman yang semuanya serba
kapitalisme, budaya jogja yang anggun mulai tergantikan dengan budaya baru yang
semuanya serba hedonisme.
Mawar..
Hari sudah semakin sore, suasana temaram jogja membuat ku
lapar.
aku rasa kamu pun lapar.
Gudeg mungkin makanan yang tepat untuk memberi makan
cacing cacing yang berada di perut kita.
Dan duduklah kita berhadapan saling lontar cerita.
Aku lihat kamu lebih suka menyantap makanan sederhana ini
di bandingkan dengan fast food yang biasanya kita makan di Jakarta.
Mawar pun berkata..
“Aku dengar musisi jalanan itu memainkan lagu yang isi
nya tentang kekecewaan dia tentang budaya yang sekarang, apa kamu dengar?”
“iya aku mendengarnya mawar, memang budaya yang kita
nikmati sekarang ini telah berubah. Dimana banyak nya campur tangan pihak lain
untuk mendoktrin pemikiran kita tentang budaya yang lama agar terganti dengan
budaya baru yang mengarah ke barat”
Mawar pun terdiam, walaupun aku tau apa yang sedang di
pikirkannya.
“kalau begitu bagaimana musisi jalanan dan seniman tua
itu tadi bisa mempertahankan budaya yang lama?” celoteh mawar sambil meminum es
the manis minuman kesukaanya.
“ya mereka cinta terhadap tanah kelahiran mereka tanpa
memperdulikan datangnya budaya baru” ku balas celotehan mawar dengar senyum
miris yang ku punya.
Mawar kini hari sudah malam..
Kota jogja seakan mengajak untuk lebih dalam lagi
mengenal isi di dalamnya.
Mungkin ini adalah alasan mengapakota jogja di sebut kota
yang istimewa.
Sebagian besar dari mereka masih mempertahankan budaya
warisan dari nene moyang mereka.
Disini masih terdengar sayup sayup suara gamelan yang
mistis.
Suara sinden dengan ciri khas nya yang membuat mawar
menutup kuping karena takut mendengarnya.
Mawar..
Kelak jika kamu kesini lagi bersama aku atau tanpa aku,
Aku harap kamu masih menyimpan semua kenangan di kota
yang istimewa ini.
Kota yang mengajarkan kita tentang berbagai macam hal
Kota yang masih menjaga budaya leluhur mereka
Kota yang penuh dengan cerita bagi setiap pelancongnya.
Terimakasih mawar telah memberikan sebuah kenangan manis
di kota ini.
Teruntukmu mawar, kamu yang cantik yang istimewa seperti
Jogjakarta.
Dari aku mahasiswa tingkat akhir yang kini merindukan
senyummu yang abadi.